2020 adalah tahun aneh dan spesial –kalau tak mau dibilang muram dan menyedihkan– dimana roadmap industri musik Indonesia ke depan bakal ditulis ulang. Berbagai rencana, agenda rutin berkala, dan acara tahunan kesenian musik tak hanya ditunda, tapi juga beberapa kolaps dan menempatkan para pekerja seni dalam ketidakpastian.
Di masa-masa sulit seperti sekarang ini, pihak yang paling terpukul tentunya musisi yang menggantungkan sumber utama ekonominya dari live event, pekerja seni venue dan cafe, pemilik gerai toko musik dan rumah produksi merchandise. Meski beberapa diantaranya masih bergerak secara gerilya dan terpisah-pisah, kita semua sedang menghadapi situasi lebih krusial dimana kelangsungan hidup homo sapiens sebagai genus primata yang rentan penyebaran Covid-19 lewat interaksi sosial dan fisik dipertaruhkan.
Karenanya, untuk pertama kali dalam sejarah musik modern Nusantara, kemajuan teknologi dan digitalisasi mendapatkan momen terbesarnya: virtualisasi adalah ‘rumah baru’ bagi para pekerja seni musik yang dipercaya bisa membawa harapan dan peluang agar social distancing –yang sepertinya masih akan berlaku beberapa tahun ke depan– tidak menjadi kontra produktif.
Retrospektif ini ditulis dengan keterbatasan penulis sebagai permenungan akhir tahun 2020 baik di tingkatan akar rumput maupun industri mainstream.
Skema Bantuan Pemerintah
Diluncurkan sejak awal April 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan melakukan pendataan pekerja seni yang terdampak Covid-19. Pendataan ini ditujukan untuk menyalurkan bantuan sosial (bansos) terutama bagi mereka yang berpenghasilan di bawah 10 juta, tidak punya pekerjaan lain di luar bidang musik, sudah berkeluarga, serta yang belum dan sudah ikut dalam program bantuan pemerintah seperti BPJS, Pra Kerja dll.
Data gabungan yang masuk dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Kemendikbud per April lalu, menyentuh angka 40.081 pendaftar telah diverifikasi Kementerian Sosial sesuai nama, NIK dan bukti karya. Form pendataan lewat formulir daring https://bit.ly/borangpsps kini sudah ditutup (terakhir diakses penulis Desember 2020). Berbagai informasi yang beredar media belakangan hari ini juga menyatakan bahwa bantuan pokok seperti beras, minyak goreng, gula pasir, mie instan, dan vitamin C tersebut telah disalurkan.
Meski wacana bantuan pemerintah ini sempat tercemar oleh kasus korupsi bansos Covid-19 Menteri Sosial Juliardi oleh KPK tepat di penghujung tahun, namun langkah Pemerintah melakukan pendataan pekerja seni perlu disambut baik dan ditindaklanjuti.
Atas nama narasi besar pembangunan ekonomi kreatif yang menjadi topik utama sejak Pilpres 2014 silam, kita semua boleh berharap bahwa data pekerja seni khususnya di bidang musik tak hanya digunakan dalam konteks bansos pandemi, tapi juga disiapkan untuk keperluan riset dan acuan ke depan dalam pengambilan kebijakan publik di ranah musik.
Konser Virtual Menjamur
Pandemi datang di saat berbagai tech giant company dari Silicon Valley sudah mencapai stable version fitur komunikasi jarak jauh via audio dan video secara realtime. Kita mengenal Twitter, Facebook dan Instagram meluncurkan fitur Live di platformnya masing-masing sudah sejak 3 tahun sebelum Covid-19 pertama kali ditemukan.
YouTube bahkan sudah melakukan uji coba lewat Youtube Live pertama kali di tahun 2008 dengan melansir aksi panggung berbagai musisi dunia seperti Black Eyed Peas sampai Katy Perry secara realtime dari San Francisco dan Tokyo, dua kota yang berselisih waktu masing-masing 17 jam.
Di Indonesia, kita melihat bagaimana acara live-streaming in-app ini tak hanya menjamur, tapi juga dilakoni makin serius. Navicula, Danilla, Pamungkas hingga Zeke and the Popo adalah nama musisi yang menggelar konser virtual di awal masa PSBB sekitar Maret — Mei lalu, menginspirasikan banyak event organizer, sponsor dan aktivis musik akar rumput menggelar hajat serupa di akun sosial medianya masing-masing.
Betul bahwa ini bukan fenomena baru, tapi tradisi menonton konser musik realtime via online mendapati bentuk normatifnya di masa PSBB. Pertanyaan yang boleh jadi muncul selanjutnya dan perlu dijawab adalah seberapa tinggi komitmen audiens dalam membeli tiket konser virtual musisi kesukaannya? Mampukah live-streaming in-app memiliki kekuatan ekonomi yang sama seperti konser fisik di masa pandemi ini?
Musik Streaming Makin Diperhitungkan
Satu dekade lalu, rilisan album digital mungkin masih jadi ‘mainan’ musisi independen. Baik yang disiarkan melalui netlabel seperti Yes No Wave maupun agregator seperti Musikator. Pelanggan premium Spotify dan iTunes juga masih didominasi fans di kota-kota besar dengan margin profit yang sangat kecil. Masih segar juga di ingatan bagaimana frekuensi rilisan di Yes No Wave perlahan turun dan Musikator resmi tutup di 2016 silam.
Tapi sejak itu pula, kancah musik digital di Indonesia makin semarak seiring label major dalam negeri perlahan-lahan merilis satu-persatu katalog musisinya dan pemain besar streaming musik digital seperti Guvera, Spotify, dan Joox masuk ke pasar Indonesia.
Tahun ini saja, penulis mencatat setidaknya ada 3 publisher musik yang banyak memuat katalog musik baru di era pandemi yakni Believe Music, Netrilis dan Euforia Digital. Ketiganya bersanding dengan label besar seperti Aquarius Musikindo, Nagaswara, dan Demajors, memainkan perannya sebagai alternatif bagi musisi independen yang hendak merilis karyanya ke publik. Selebihnya, tentu memilih registrasi langsung ke agregator besar seperti Distrokid dan Tunecore.
Kecenderungan bahwa publisher musik streaming yang makin diperhitungkan oleh musisi dalam negeri juga meningkat seiring perubahan audiensnya dalam mengkonsumsi musik. Chico Hindarto, salah satu petinggi Lembaga Kolektif Manajemen dari Wahana Musik Indonesia sempat melakukan jajak pendapat di LinkedIn nya perihal bagaimana orang-orang menghabiskan uangnya untuk membeli produk musik di kala pandemi. Hasilnya, sebanyak 89% menjawab dengan berlangganan musik streaming.
New Revival Musisi era Poster
Tanpa mengecilkan peran diskotek dan klub malam era Gubernur Ali Sadikin, Pid Pub Pondok Indah, hajat legendaris The Blackhole, Bulungan, Waterpark, BB’s, Aksara dan beberapa nama kolektif lain kurun waktu 80 sampai 2000-an, adalah Poster Cafe yang banyak dicatat sebagai kunci penting awal tumbuh dan yang kita kenal kemudian sebagai skena independen. Di cafe milik musisi senior Ahmad Albar bilangan Jalan Gatot Subroto, Jakarta inilah muda-mudi yang tumbuh di era 90-an merancang agenda pemberontakannya sendiri: pemberontakan pada rezim Orba dan sempitnya industri musik mainstream kala itu.
Kita pun mengenal Slammer Production (dipetik dari nama jalan Slamet Riyadi) yang pertama kali memperkenalkan pola manajemen event (organizer) semi-profesional sepenuhnya dikelola tangan-tangan independen. Di luar venue, kultur zine cikal bakal review musik mendalam rilisan musisi lokal dan lapak penjual rilisan fisik membentuk perilaku konsumennya sendiri dalam pola produksi-konsumsi-reproduksi ala mereka sendiri.
Di atas panggung, untuk pertama kalinya publik mengenal konsep idol lewat Pestolaer, Wondergel, Waiting Room, Fable kala itu dengan genre aneh-aneh hasil mutasi berbagai genre mulai britpop, new wave, ska dan folk lewat lirik-lirik lagu orisinil mereka berbahasa Indonesia, jauh dari hingar bingar polarisasi Metal vs Punk kerap terjebak dalam epigonisme. Meski ini debateable, penulis berpendapat bahwa keunikan genre musisi independen yang muncul dari booming-nya nomor-nomor breakthru di album kompilasi JKT:SKRG (2004) sampai Hindia-fever lewat rilisan Menari Dalam Bayangan hari ini, merupakan proses historis yang pondasinya disusun di era Poster.
Karena keterbatasan ruang dan tempat, penulis menggunakan istilah new revival musisi era Poster dalam konteks menangkap fenomena unik yang terjadi di tahun ini, dimana para kugiran idola yang penulis sebut di atas, secara mengejutkan dan serentak mulai menampakkan aktivitasnya di social media: Pestolaer yang mengunggah katalog lamanya ke Spotify, Wondergel yang merilis single baru kedua pasca reunian, Waiting Room dan Bandempo yang merilis ulang album lawasnya, serta beberapa musisi yang besar di panggung Poster Cafe, masih nge-band sampai sekarang dan benar-benar baru merilis debut single-nya, baik dengan nama baru atau mempertahankan nama lamanya.
Project Blockchain Music Indonesia, Portamento Gagal Rilis
Kalaupun ada big loss yang menimpa dunia musik dalam negeri tahun ini, penulis harus menganugerahkannya kepada Portamento, project big data yang dipastikan meleset dari target rilis.
Digadang-gadang mantan Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf sejak 2017 silam, Portamento diwacanakan bakal membantu mengatasi berbagai kendala pelaku industri musik. Triawan menjelaskan, nantinya Portamento akan menyediakan banyak laporan mengenai urusan royalti tersebut, yang akan langsung terkoneksi dengan sejumlah lembaga negara seperti Ditjen Pajak, Kemenkumham terkait kekayaan intelektualnya, dan bahkan bisa jadi jaminan perbankan, di mana musisi juga sudah harus dilihat sebagai profesi yang menjanjikan.
Dalam hal ini, musisi yang tergabung dalam Portamento dibayangkan bakal bisa melihat pergerakan data statistik stream/ download, impresi/ insight secara realtime dengan sistem network yang mustahil dimanipulasi atau di hack siapapun. Musisi juga jadi bisa melihat siapa membeli lagu apa, menggunakan kanal apa, kapan waktu pembeliannya, pembayaran via apa dan siapa-siapa saja yang diuntungkan darinya.
Di atas kertas, Portamento memang cukup realistis dan masuk akal, mengingat teknologinya di bangun di atas platform blockchain sebagai sebuah buku besar sebagai pencatat transaksi elektronik memungkinkan sistem seperti ini dibuat.
Namun di tingkatan realita, kita tahu bahwa Bekraf dibubarkan tahun lalu. Fungsinya pun dilebur di bawah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Wishnutama, Menteri aktif saat itu juga baru saja dicopot dalam kocong ulang (reshuffle) kabinet, digantikan dengan Sandiaga Uno yang notabene menjadi tokoh dengan kepentingan politik paling tinggi menuju Pilpres 2024 mendatang.
Perubahan kepemimpinan ini tentu bakal berdampak bagi kelangsungan project tersebut. Terlebih lagi, Portamento sebagai platform ‘penyelamat musisi Indonesia’ yang dijadwalkan rilis tahun 2020 ini, kabarnya juga masih terhalang payung hukum UU Hak Cipta pasal 28 dan 49. Sementara 2021 sudah tinggal menghitung hari.