Catatan: Bagian 1 sudah tayang dan bisa dibaca di tautan berikut.
***
Metaverse adalah buzzword baru yang belakangan ini tak hanya memenuhi ruang obrolan di internet, tapi juga jadi kajian serius para pelaku teknologi. Di beberapa tempat ia menjadi bola liar sebagai rumor kekinian nan simpang siur di kalangan para penggerak ekonomi yang mendaraskan lini bisnisnya di ranah digital.
Pasalnya, belum terang apa dan bagaimana buzzword ini kita definisikan, gelombang trend yang kemudian latah hendak melekatkan apa-apa dengan embel-embel Metaverse, sudah tak bisa dibendung.
Seakan-akan kita semua rela saja terkena FOMO sambil bertanya susah payah kiri kanan, apa yang harus kita lakukan, apakah ini bisa jadi ladang cuan baru, dan sejauh mana hal ini akan berpengaruh bahkan mengancam bisnis saya ke depan.
Bila di tulisan sebelumnya saya mendedahkan jalur filsafat menuju pemahaman ontologis tentang bagaimana Metaverse itu dimungkinkan, kali ini saya akan membahas secara spesifik beberapa peristiwa yang terjadi di ranah teknologi sebagai prequisite atau pintu masuk yang memadai sebelum kita benar-benar mendiskusikan Metaverse lebih mendalam nantinya.
Pintu masuk tersebut antara lain:
1. Penemuan Teknologi Terus Bergerak Dalam Kecepatan Tinggi
Dalam industri hardware mikroprosesor (elemen komputer yang menjadi otak dalam melakukan fungsi pokok komputasi aritmetika dan logika) kita mengenal hukum Moore atau Moore’s Law.
Diajukan oleh Gordon E. Moore salah satu pendiri Intel pada 1965, ia memperkenalkan suatu prinsip fisika bahwa kompleksitas sebuah mikroprosesor selalu meningkat dua kali lipat tiap tahunnya.
Lihat grafik di bawah:

Intel sendiri kemudian mengembangkan teknologi mikroprosesor lebih jauh lagi dari hukum Moore dengan menggarap teknik nanotechnology dalam pembuatan prosesor. Dampaknya, kompleksitas sebuah mikroprosesor tidak membutuhkan waktu selama 1 tahun untuk melihat peningkatan kompleksitas, tetapi bisa lebih singkat lagi.
Ini jadi alasan mengapa sejak komputer pertama dibuat pada 1943 dengan bobot 30 ton dan membutuhkan ruang seluas 457 meter persegi, perangkat canggih ini telah semakin mengecil hari ini. Di 2021, mikroprosesor telah mencapai ukuran 2 nanometer, yakni lebih kecil dari butiran beras.
Mengingat penemuan hardware kini tengah bergerak dalam kecepatan tinggi, maka teknologi sekompleks apapun yang tengah dirancang para developer, akan semakin cepat juga tersedia di masyarakat. Tak terkecuali teknologi Metaverse yang diprediksi bakal mulai se-mainstream smartphone hanya dalam waktu 5 tahun saja dari sekarang.
2. Penjualan Headset VR Tumbuh 76% Setiap Tahunnya
Baru-baru ini lembaga analis teknologi CCS Insight membuat forecast penjualan perangkat VR dan AR dengan menganalisis pertumbuhannya sejak 2015 terus tumbuh mencapai 76% setiap tahunnya. Lembaga tersebut memprediksi bahwa pada 2023, 75 juta perangkat virtual dan augmented akan terjual di seluruh dunia dengan nilai pasar hingga $ 13 miliar.

Mengingat perangkat seperti ini jadi salah satu tools penting dalam menggunakan teknologi Metaverse, kacamata VR ‘segede gaban’ yang kita kenal sekarang dalam waktu singkat tak hanya akan mengecil dan tersedia dengan murah menyerupai kacamata/ softlens yang biasa kita pakai sehari-hari saat ini, tapi juga dengan segera menjadi mainstream baru layaknya smartphone milik jutaan umat hari ini.
3. Virtualisasi Sebagai Kapitalisme Lanjut
Sejak kemenangannya melawan komunisme lewat Perang Dunia II dan keruntuhan Uni Soviet pasca Perang Dingin di 1991, kapitalisme menjadi sistem ekonomi yang dipercaya bisa membawa kemaslahatan umat manusia. Hal ini dibuktikan dengan taraf hidup negara-negara pro Kapitalisme lebih pesat perekonomiannya jika dibandingkan dengan negara-negara pro Marxis.
Kapitalisme sendiri adalah sistem ekonomi yang tujuannya mendapat keuntungan dengan memberikan kebebasan dan semua hal yang berkaitan dengannya hanya ditujukan untuk mensejahterakan diri sendiri. Hak kapitalisme adalah boleh menimbun kekayaan sebesar-besarnya.
Namun ketika semua ladang telah dibabat habis, semua tanah dijadikan alat produksi, semua bahan baku telah semakin menipis, dan ancaman kerusakan lingkungan telah sampai di depan mata, kapitalisme kehilangan daya untuk melaksanakan prinsipnya, yakni mendapat keuntungan dari dunia nyata yang kita tinggali dan telah habis dieksploitasi.
Untungnya (atau sialnya?), internet hadir sebagai jejaring teknologi yang kelak kita kenal sekarang sebagai sebuah dunia maya dengan seluruh potensi bisnisnya. Bisnis digital pun tumbuh pesat dengan profit yang bahkan mengalahkan model bisnis konvensional. Real economy pun mulai digantikan oleh virtual economy.

Kombinasi dari hal-hal di atas jadi alasan utama mengapa late capitalism kini bergerak menuju virtualisasi dengan menciptakan mata uang virtual (bitcoin), dan aset virtual bersertifikat (NFT’s).
Sebab ketika bahan baku semakin langka dan tidak ada lagi tanah yang bisa dijual lagi di dunia nyata, alam virtual seperti Metaverse menjanjikan aset tidak terbatas karena seluruh semesta virtualnya cukup diciptakan lewat barisan kode yang bisa di-generate kapan saja demi mendulang profit yang seluas-luasnya tanpa batas.
Meski banyak hal yang masih bisa dieksplor, namun ketiga perspektif di atas penulis anggap cukup strategis menjadi titik berangkat. Dimana dari segi waktu pengembangan teknologi nano dan mikroprosesor yang cepat, trend pasar perangkat VR/AR yang makin luas serta pergeseran modus ekonomi ke ranah virtualisasi, Metaverse bukan lagi sekedar buzzword.. tapi malih rupa jadi sebuah keniscayaan ekonomi hari ini yang memang patut diwaspadai dan dikaji lebih lanjut lagi.
Bersambung
***
Sumber Pustaka:
Virtual and Augmented Reality Headset Shipments Ready to Soar. Diakses pada Sabtu, 19 Februari 2022 https://www.ccsinsight.com/press/company-news/virtual-and-augmented-reality-headset-shipments-ready-to-soar/
Connection of 3 levels: ICT infrastructure, digital and virtual economy: (Lehdonvirta & Ernkvist, 2011). https://www.researchgate.net/figure/Connection-of-3-levels-ICT-infrastructure-digital-and-virtual-economy-Source_fig2_341411612