Early 2000-an, Goenawan Mohamad pernah nulis di salah satu caping-nya: Kalau mau tau adab suatu kota modern, lihatlah lalu-lintas dan perilaku warganya di jalan raya.
Persis kalimatnya gue lupa, tapi kira-kira pesannya kayak gitu. Dan di early 2000-an, traffic Jakarta memang belum se-hectic dan pengendaranya belum se-beringas sekarang.
Gue masih bisa enteng berangkat jam 8 dari rumah di Kalimalang, Jakarta Timur tuk ikut mata kuliah jam 10 di kampus gue bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan dengan hati senang. Hal yang mustahil bisa dilakukan hari-hari ini.
Tua di Jalan
Entah masih relevan atau ngga, statement GM di atas sekarang jadi problematis. Pasalnya buat kami para mahasiswa dan pekerja yang menggantungkan aktivitasnya di tengah kota, lancar tidaknya traffic Jakarta di jam-jam sibuk jadi penentu kegemilangan kami meraih prestasi di kampus dan atau menjadi profesional kantoran yang bekerja sepenuh hati. Berangkat subuh dan pulang di atas jam 8 malam jadi jalan ninja satu-satunya.
Warga Jakarta era modern juga terpolarisasi kelas ekonominya, baik kelas ekonomi yang sanggup memilih berlindung di balik nyamannya AC mobil maupun kelas ekonomi yang sanggupnya cuma menggocek lampu merah di atas motor bebek, sama-sama berkubang dalam kemacetan yang sama-sama panjang, stressing dan melelahkan.
Hari ini, gue beruntung bisa memilih untuk ngga termasuk dalam dua golongan ‘tua di jalan’ tadi tanpa perlu menjadi ninja.
Kok bisa? Keep reading ya.
Melampaui Traffic
Hal pertama yang gue lakuin sebagai jurus melampaui traffic Jakarta dan keluar dari dua golongan ‘tua di jalan’ tadi, adalah dengan mengamini lebih dulu bahwa traffic Jakarta sudah mustahil untuk dimaklumi. Dengan menerima kenyataan lebih awal kayak gini, mindset gue jadi kebentuk untuk stop mengeluh dan menjadikan macet sebagai alasan.
Kedua, mempertimbangkan opsi rumah tinggal sementara (bisa kost atau kontrakan) sedekat mungkin dengan kampus/ kantor. Ini memang bukan keputusan mudah, terlebih buat yang sudah berkeluarga. Beruntungnya, keluarga gue sepemikiran dalam hal ini, toh mereka juga menginginkan waktu kumpul keluarga bareng gue lebih banyak daripada membiarkan gue terjebak macet berjam-jam.
Dan setelah survey sana sini, wilayah Mampang dan sekitarnya tampak paling realistis dari segi budget dan lokasi yang sangat strategis di akses dari manapun di Jakarta.
Ketiga, mencari opsi transportasi publik modern yang paling realistis dan membiasakan diri menggunakannya. Kalau dulu mungkin generasi yang pernah ngerasain naik metromini, mikrolet, kopaja atau bahkan ngerasain naik KRL di atap gerbong, pasti semua sepakat sama gue kalau hari ini transportasi publik Jakarta modern sudah jauuuuh lebih baik dan layak banget digunakan.
Mulai dari Busway, MRT, KRL dan sebentar lagi LRT, semua alat komuter modern imho adalah keberhasilan DKI sejak era Sutiyoso, Ahok sampai Anies yang perlu diapresiasi: pembayaran non tunai, jumlah armada yang banyak, dan sebentar lagi bakal saling terintegrasi.
Buat yang warga Jakarta asli bertahun-tahun tinggal disini, pasti paham kalau udah banyak banget perubahan apik dan nyata dari transportasi publik beberapa dekade ke belakang.
Keempat, last but not least, ngebiasain diri sama micro mobility buat menghilangkan ketergantungan gue sama mesin dengan petrol sebagai alat transportasi terutama untuk jarak-jarak pendek di bawah 5 km.
Untuk yang satu ini, pilihan gue jatuh pada sepeda lipat dan skuter listrik portabel. Alasannya simpel, supaya ringkes dan gampang dibawa kemana-mana.