Bola mata di balik bingkai minus 3 itu bergulir ke kanan ke kiri. Raut wajah Dita Purwitasari, perempuan kelahiran Malang itu seperti hendak mencari seseorang atau siapapun yang tampak familiar baginya.
Tepatnya pada suatu hari di akhir Maret 2015 silam itu, Ia tengah terdampar di sudut ibukota Jakarta, sebuah kota metropolitan yang terletak 800 km lebih dari kota asalnya di ujung pulau Jawa. Dan ia tidak hendak berlama-lama akan berada di sini.
Tepatnya di bilangan Gandaria, Jaksel, ia berada di tengah antara antrian muda mudi sebayanya yang punya agenda sama: menyaksikan debut konser tunggal Mew di Skenoo Hall, Gandaria City yang bakal dihelat dalam beberapa jam ke depan.
Dalam benak Tandit –demikian Dita kerap disapa– ia mengingat-ingat bahwa kali ini adalah momen berbeda dengan pengalamannya menonton band idolanya itu secara live. Pasalnya bila penampilan Mew sebelumnya hanya mengisi festival saja seperti di Java Rockin’ Land (2009), Coca Cola Soundburst (2010) dan Guinnes Arthur’s Day (2013), maka kali ini band asal Denmark tersebut tampil pede menghelat konser tunggal dengan nomor repertoar yang lebih banyak khusus untuk para pendengar setianya di Indonesia.
Wajar bila upaya Tandit jauh-jauh datang dari Malang ke Jakarta hanya untuk menyaksikan Mew adalah sepadan baginya. Dan sore itu ia tidak sendirian. Ratusan orang tengah mengantri masuk ke hall utama untuk menyaksikan band yang sama sepertinya.
Best Kept Secret
Meski nama band idola tersebut tidak meledak sebesar musisi internasional lain, Mew adalah salah satu band yang punya basis penggemar loyal di sejumlah kota besar di Indonesia.
Hal ini paradoks memang. Pasalnya, Mew memiliki semua syarat untuk menjadi underrated sekaligus cult: komposisi musik yang cenderung instrumental, range sound yang unik dan luas, layer aransemen berlapis-lapis, tema lagu personal nan dreamy, durasi track yang cukup panjang dan kebanyakan tidak radio friendly.
Namun sejak kemunculan debut album internasional mereka bertajuk Frengers: Not Quite Friends But Not Quite Strangers (2003), Mew mulai digunjingkan pecinta musik berbagai forum online lokal seperti Kaskus, dibedah musikalitasnya lewat testimonial fans di salah satu thread, dan membuat kepincut sejumlah orang yang mungkin sudah bosan dengan britpop, cape dengerin punk, dan tapi juga terlalu fancy untuk mengulik grunge.
Karenanya ia tidak pernah benar-benar menjadi hits jutaan umat. Mew disukai diam-diam, menjadi best keep secret di forum internet kala itu dan berjejaring secara anonim.
Seakan muncul idiom di Jakarta bahwa dari 9 orang teman anda yang suka banget musik alternatif, 1 diantaranya pasti pecinta berat Mew.
Fanbase Mew di Indonesia
Berhubung open gate baru akan digelar selepas magrib, di food court lantai dua mall itulah Tandit menghabiskan waktu dengan beberapa kawan dari berbagai kota lain yang datang berkelompok.
Ia sendiri datang langsung tanpa teman dari Malang, baru sampai Bandara Soekarno Hatta pukul 10 pagi dan tanpa agenda menginap. Praktis Ia sudah menyusun rencana pulangnya malam itu juga dari Bandara yang sama selepas showcase berakhir nanti.

Bagi beberapa orang di sana, sosok Tandit dikenal sebagai salah satu founder komunitas fans Mew di dunia maya yang kini telah berjejaring ke berbagai kota di Indonesia. Tak heran bila konser ini juga menjadi ajang kopi darat pada Frengers –sapaan untuk para fans Mew– di Indonesia yang banyak diantaranya baru kali itu bertatap muka. Termasuk juga saya yang saat itu hadir menjumpai Tandit dan ngobrol-ngobrol soal fanbase yang diberinya nama Indonesian Frengers (IF).
Dengan vokal jawa yang medhok dan agak canggung, Tandit menceritakan kenangannya akhir tahun 90-an waktu di mana semuanya bermula. Kala itu ia pertama kali kepincut debut LP A Triumph for Man yang baru rilis dan tengah diputar salah satu stasiun radio lokal Malang. Baginya, album ini membius dan terdengar berbeda dengan grup musik yang lazimnya diputar di radio tersebut. Ada nuansa dream pop, post rock, dan shoegaze yang rumit ditingkahi vokal unik dalam banyak lirik metafor yang multitafsir.
Demi memenuhi rasa penasarannya, Tandit menyasar forum online di official site Mew dan menemukan berapa member dari Indonesia yang membuka thread kapan kiranya Mew bakal sedia tampil di Indonesia.
“Ada respon member dari negara lain saat itu menjawab kalau Mew memang belum punya banyak fans di Indonesia jadi kansnya kecil,” kutip Tandit. Respon yang boleh jadi menciutkan harapannya tersebut.
Seiring berjalannya waktu dan Mew yang terus merilis album baru, jejaring pertemanan Tandit terbentuk untuk menampung kawan-kawan sebayanya di berbagai daerah Indonesia yang menahbiskan dirinya sebagai fans Mew dan memiliki harapan yang sama. Percakapan demi percakapan terjalin sejak era Friendster di awal 2000-an sampai era Facebook yang booming beberapa tahun setelahnya.
Bukan Teman Bukan Strangers
Tepat di 16 April 2009, Tandit dan sejumlah kawan dari berbagai kota lain mulai serius mengelola Facebook Group, mengundang siapa-saja dengan minat sama untuk berinteraksi di sana hingga kabar baik itu datang; Mew direncanakan bakal tampil dalam gelaran festival musik terbesar se-Asia Tenggara bertajuk ”Java Rockin’ Land” di Ancol, Jakarta pada 9 Agustus 2009.
Event tersebut tak hanya menjadi berkah buat para Frengers di Indonesia, tapi juga memicu ledakan arsip postingan Facebook Group IF yang sangat beragam, mulai dari sharing lirik dan makna lagu Mew yang selalu menarik diperbincangkan, koleksi artwork buatan member, hingga rencana kopi darat para Frengers di berbagai regional mulai dari Jakarta, Bogor, Bandung, Yogya, Surabaya dan tentu saja kota Malang sendiri; hal yang lantas menjadi rutinitas dan terus menyedot banyak member baru hingga hari ini.
Meski dijalankan sukarela dan nonformal, masing-masing regional kota umumnya dikelola oleh satu orang motor selaku koordinator. Keanggotaannya pun bersifat cair, mengandalkan internet sebagai wadah dan cenderung anonim. Dalam artian, setiap orang di IF boleh jadi tak saling mengenal atau bertatap muka satu sama lain, namun semua orang di komunitas ini bukanlah orang asing.

Tandit sendiri perlahan-lahan mundur teratur dari kegiatan kepengurusan karena kesibukan kantornya. IF kini lebih banyak dikelola dari Jakarta dengan nama-nama baru yang lebih produktif sekedar untuk memposting konten blog, membuat video ucapan ultah untuk personil Mew, menggelar tribute gig dan menjaring Frengers baru.
Kultur komunitas macam ini mungkin bisa ditemui di kalangan backpacker yang berkelana dari satu kota/ negara ke kota/ negara lain. Dus, term Frengers adalah kode yang membuat orang asing menjadi bagian keluarga IF yang selalu welcome dengan pecinta Mew.
Toh kata Frengers sendiri adalah idiom unik yang muncul dari akronim kata friends dan strangers yang menjadi judul album masterpiece Mew: Not Quite Friends But Not Quite Strangers. Alih-alih menganggap fansnya dalam hubungan Idol dan Followers, boleh jadi Mew hendak menempatkan Frengers dalam satu hubungan yg setara melintasi jarak kota bahkan negara antara fans yang satu dengan fans yang lainnya.
Tak peduli siapa yang paling banyak hapal lirik lagu Mew, hapal kebiasaan para personilnya atau siapa saja yang masih newbie, Frengers lambat laun menjadi cult hari ini dalam format paling egaliter untuk sebuah pemuja grup musik yang berasal dari sebuah pinggiran kota Coppenhagen, Denmark 7 ribu mil jauhnya dari Indonesia.
***
Adalah Johan Wohlert, sang komandan panggung yang menjadi pusat perhatian saya di konser tunggal Mew saat itu. Pernah menyatakan keluar dari band pada 2006 dan kembali bergabung setelah 7 tahun, Johan boleh jadi adalah salah satu alasan penting mengapa Mew akhirnya resmi mengumumkan album terbaru setelah terus menundanya sejak digadang-gadang selama 3 tahun lamanya.
Album ini juga menjawab penantian panjang publik dan fans setelah hampir 6 tahun band vakum merilis album sejak dirilisnya No More Stories Are Told.. pada 2009 silam.

Dari beberapa sumber yang saya telusuri, kembalinya Johan di 2014 membuat band melakukan percepatan produksi, merombak kembali aransemen utama materi baru dan menempatkan cabikan bass ala Johan kembali menjadi elemen penting album bertajuk + – (baca: plus minus) yang bakal rilis dalam akhir bulan ini. Simak saja Satellites dan Water Slides dua nomor repertoir dari abum + – yang sudah diperdengarkan ke publik sebelumnya, di mana pattern bass dalam lagu menjadi cukup dominan jika dibandingkan dengan sejumlah album terdahulu.
Ini juga kali pertama saya menyaksikan betapa Johan ternyata mampu menularkan efek berbeda di atas panggung, membuat aksi para personil menjadi lebih energik dan hidup dibandingkan penampilan Mew minus Johan pada tiga penampilan Mew sebelumnya di Jakarta (2009), Soundburst Festival Surabaya (2010) dan Arthurs Day Festival Jakarta (2013).
Harus diakui bahwa showcase hari itu memang bukanlah penampilan terbaik Mew jika dibandingkan dengan live act Mew sebelumnya di 3 festival tadi. Output sound yang bocor di frontline, tata panggung yang seadanya, dan set list yang cukup singkat jadi pertaruhan utama mengingat ini adalah kali pertamanya Mew menggelar konser tunggal untuk publik Indonesia.
Suguhan animasi visual effect –yang sudah kadung melekat dengan apik pada setiap konser Mew karena Jonas sendiri adalah seorang visual artist sekaligus animator– juga absen entah kemana kali ini. Marygops Studios selaku penyelenggara seharusnya bisa lebih paham akan hal-hal yang sudah menjadi iconic dan fatal seperti ini.
Mengenai vokal angelic Jonas yang biasanya sukses bermain di range high tenor, low tenor dan falsetto nyaris sempurna dalam setiap live performance-nya, sekali lagi harus disayangkan karena pada faktanya Jonas kerap kedodoran bahkan sejak Coffee Break –track favorit saya– dimainkan sebagai nomor pembuka.
Meski banyak Frengers kala itu yang mungkin tak bersepakat dengan saya kali ini, nomor Comforting Sounds yang selalu menjadi encore di berbagai penampilan Mew, menunjukkan bahwa –alih-alih tampil total dan menjanjikan– Mew sedang bermain aman di sini.
Namun lepas dari hal teknis semacam ini, saya tidak bisa mencatat lebih banyak lagi kekurangan konser sat itu bila setiap event yang berkaitan dengan Mew adalah tempat pertemuan yang selalu menyenangkan dengan sesama Frengers darimanapun berasal, baik yang sudah saya kenal sebelumnya maupun yang baru sekali itu bertemu, termasuk Tandit dan segerombolan nama lain.
Grup Chat Line Indofrengers yang saya dan Tandit ikuti seketika kebanjiran notifikasi. Semua saling menanyakan update, janjian bertemu atau sekedar welfie dengan Frengers dari kota lain yang sudah berada di lokasi.

Malam itu juga jadi puncak rendezvous di mana saya bersalaman dengan banyak orang-orang baru, kenalan lama, sobat jauh yang berangkat dalam kesendiriannya masing-masing dari Pandeglang, Padang, Balikpapan, Bali dan berbagai kota lain tak hanya untuk menonton Mew semata, tapi juga untuk menegur sapa, saling bertanya kabar, bernyanyi dan jejingkrakan bersama di semua lagu yang kami suka selama beberapa jam ke depan saja untuk kemudian masing-masing kami kembali ke asalnya dan entah kapan baru akan bisa bertemu muka kembali dan melepas kangen.
Meski penampilan Mew di malam itu antiklimaks bagi beberapa Frengers yang saya wawancarai di sepanjang jalan pulang, namun kami semua sepakat bahwa selama Mew masih berkarya, cepat atau lambat rendezvous itu bakal terjadi di waktu yang lain lagi dan di tempat berbeda.
Long Live Indonesian Frengers!