TIADA ADA SEORANG pun yang bisa memastikan untuk apa pohon berwarna putih ini ditanam dan tumbuh di sebuah pinggir danau virtual. Tiada nama. Tak ada keterangan apa-apa. Hanya bayangan pohon di muka danau yang lama kelamaan makin membuyar ditempias angin maya entah dari mana asalnya.
Yang ada, ketika gambar pohon itu diklik, hanyalah sebuah direct link menuju halaman login sebuah blog yang kemudian dikenal sebagai Pohon KOPI Putih.
Dari dokumentasi yang tersedia di halaman tersebut, bisa diketahui bahwa blog ini tengah berkisah tentang sebuah negeri imajiner bernama KOPI Sastra yang pada akhir 2009 dikejutkan oleh anfalnya Presiden mereka; Presiden KOPI Sastra karena suatu penyebab misterius.
Maka inilah aku sekarang, menghadapi halaman belakang Pohon KOPI Putih yang dalam kisah fiksi itu diharapkan bisa memberikan petunjuk demi mengetahui apa yang tengah menimpa Presiden KOPI.
Dan baru di halaman logout inilah kutahu, bahwa tokoh-tokoh imajiner dalam cerita tersebut tersebut tak pernah benar-benar memecahkan teka-teki anfalnya Presiden KOPI.
Sebab setelah mereka berhasil menjebol masuk ke Pohon KOPI Putih, mereka hanya menemukan akun palsu yang diduga bukan milik Presiden dengan konten dalam bahasa enkripsi tak terbaca.
Kecurigaan lalu mengarah pada penggunaan bahasa enkripsi serupa yang kerap dipakai seorang pujangga berinisial ST dalam banyak karyanya, seorang warga yang diusir dari negeri itu beberapa tahun sebelumnya dan kini diasingkan di kawasan Purbaleunyi.
Pasalnya setelah mengadakan perjanjian dengan Presiden KOPI untuk mengemban tugas riset kesusastraan beberapa tahun lalu, ST kembali dengan membawa sebuah kitab yang dikumpulkannya dari 5 tempat berbeda, yakni alfa, omega, gamma, delta, epsilon.
Presiden KOPI dan segenap anggota kabinet Negeri KOPI awalnya menyambut kitab ini dengan antusias. Mereka berharap kitab ini bisa memberikan penjelasan dan pencerahan mengapa kultur teks bebas yang mereka anut selama ini kian menjurus ke arah yang mengkhawatirkan, bahkan cenderung mengganggu status quo rezim yang tengah mereka jalankan.
Namun kitab yang dibawa ST tersebut, ternyata berisi jurnal harian pribadi dan karya sastra yang tak hanya mustahil dipahami, tapi juga memuat huruf-huruf yang meloncat keluar, menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas, saling bertentangan satu sama lainnya, bebas berbuat semaunya, melepaskan diri dari stabilitas tekstualnya dan kembali menyusun dirinya sendiri menjadi sebuah kitab baru, begitu terus berulang-ulang tanpa awal tiada akhir.
Alih-alih memberi jawaban, kitab ini dinilai merupakan manifestasi lanjutan dari kultur teks bebas dalam bentuknya yang paling radix.
Perbedaan pandangan lantas muncul ketika sidang fraksi digelar. Ada fraksi yang mengusulkan agar kitab ini dikutip, diperkenalkan kepada publik, dipentaskan di pasar-pasar, dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan karena sesuai dengan semangat sastra masa depan.
Sedangkan fraksi lain meminta agar kitab ini digolongkan sebagai kitab terlarang dan dimusnahkan, karena dianggap mengandung konten yang justru dapat memprovokasi publik di tengah-tengah tekanan aktivis Front Sastra Pembebasan (FSP) terhadap rezim kepemimpinan yang berlangsung sekarang.
Beberapa diantaranya bahkan sudah siap menjatuhkan fatwa haram untuk kitab ini dan cap sesat bagi siapa saja yang berniat mengikuti kitab ini.
Sontak, hal ini menyulut perpecahan koalisi dalam tubuh kabinet. Terlebih lagi dengan sikap plin-plannya Presiden KOPI menyikapi pro-kontra dari banyak kalangan.
Sedangkan di sini lain, sejumlah aktivis FSP memantau polemik tersebut dengan terus menulis fiksimini pembusukan karakter di berbagai jejaring sosial demi menuntut Presiden KOPI mundur dari jabatannya.
Para aktivis yang tergabung dalam FSP itu justru menganggap bahwa kitab yang ditemukan ST bukan lagi milik institusi atau rezim yang kaku dan arogan.
“Ini bukan lagi tentang apa kitab tersebut berguna bagi kepentingan para pejabat Negara saja yang takut kehilangan kekuasaannya, tapi tentang kemajuan kemajuan warga KOPI Sastra, demi kemajuan sastra itu sendiri!!!” seru salah seorang di antara mereka yang dikenal dengan nama Sang Hitam.
Sebelum situasi menjadi semakin pelik, kitab ini akhirnya dinyatakan terlarang dan gerakan koalisi aktivis FSP berhasil dibungkam. ST sendiri dicabut kewarganegaraannya, diusir keluar dari negeri KOPI dan diasingkan. Sejak peristiwa tersebut, ST menderita gangguan kemampuan berkomunikasi dengan orang-orang.
Tapi kini, ST dijemput paksa untuk kembali ke Negeri KOPI dengan tuduhan membuat akun palsu atas nama Presiden KOPI dalam Pohon KOPI Putih.
Alih-alih mengelak dari tuduhan tersebut, ST yang segera mempelajari struktur enkripsi bahasa dalam Pohon KOPI Putih, memastikan bahwa akun tersebut adalah akun asli milik Presiden KOPI.
Tampaknya blog tersebut memang sengaja dibuat oleh seseorang dengan tujuan tertentu, karena ia ragu Presiden yang membuatnya sendiri.
“Untuk tujuan apa? Dan siapa seseorang itu?” desak mereka pada ST.
ST hanya diam. Ia merasa tak berhak menjawabnya.
“Kau tak berhak menjawab atau kau memilih untuk tak menjawab? Hah!!” desak mereka lagi.
Pilihan?? Setelah pengembaraannya di ranah sastra selama ini, ‘pilihan’ adalah kata yang baginya absurd. ST teringat pada masa awal pengembaraannya dulu yang kerap dihinggapi pertanyaan eksistensi kehidupannya di dunia.
Apakah ia lahir ke dunia akibat urusan biologis semata, atau ia terlempar begitu saja ke dunia dan menjalani kegamangan hidup di tengah-tengah rayuan agama dan sains sebagai pedoman, atau sejak awal ia benar-benar memilih untuk hidup?
Maka daripada menyatakan diri sebagai mahluk hidup yang berkehendak bebas dan memilih, ia percaya bahwa dirinya dan sekian banyak orang di Negeri KOPI tak ubahnya sekumpulan tokoh fiksi yang peristiwa, konflik dan alurnya sudah ditentukan. Seperti karya fiksi yang selama ini ditulis oleh segenap warga KOPI Sastra.
Lantas siapakah yang menentukan dirinya memilih sesuatu? Ini yang ST maksud ketika ia tak memiliki hak untuk menjawab, atau paling tidak ia bisa menunda dulu jawabnya.
Dan kalaupun betul di atas sana ada seseorang atau sesuatu yang lain yang dengan sengaja menciptakan, menuliskan, dan mengarang dunia KOPI Sastra beserta segala isinya, dan memperlakukan dirinya juga sekian jumlah warga KOPI sekedar salah satu tokoh penghias dalam cerita rekaannya, pastilah kurang ajar betul Sang Pengarang itu.
Bahkan lebih parah lagi, ST tak berani membayangkan bagaimana kalau Sang Pengarang itu tak sendirian, pasti ada sekian banyak orang-orang seperti dirinya entah di dunia yang macam apa yang diperalat untuk dijadikan tokoh fiksi oleh para Pengarang- Pengarang sinting lainnya.
“Kau yang sinting ST! Pengarang yang kau maksud itu adalah Tuhan, bukan?! Kau mau menggugat Tuhanmu?” ujar ST pada dirinya sendiri.
“Heh, tapi kau tau sendiri kan, kalau Tuhan itu tak pernah benar-benar ada dan tak pernah benar-benar tidak ada. Atau boleh jadi Tuhan adalah ciptaan kita sendiri, hasil imajinasi leluhur masa lalu yang kemudian dipercaya banyak orang sampai sekarang dan dilembagakan,” sahut dirinya yang lain.
“Maka sekarang siapa pengarang sejati, kita atau Tuhan? Hahahahaha,” suara dirinya yang lain makin memenuhi benaknya.
Di tengah riuhnya pertengkaran suara-suara dalam benaknya, ST paham maksud Presiden KOPI memerintahkan dirinya mengemban tugas sakral ini. Selama berabad-abad sejak negeri KOPI berdiri, sastra tak pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri. Sastra bukanlah apa yang orang-orang bilang sebagai kehidupan.
Sastra, justru mesti cukup puas terjebak semata sebagai wahana ideologi, produk komoditi, dan pemuas pribadi Sang Pengarang. Kalaupun Sang Pengarang itu kemudian berkumpul, berkomunitas bersama Pengarang- Pengarang lain, sastra lagi-lagi terjebak sebagai alat penegas institusi, komunitas, dewan, negara, atau apalah namanya.
Maka yang tertinggal hanyalah orang-orang seperti dirinya sebagai tokoh penghias dalam kisah rekaan Sang Pengarang sialan itu!
Pernahkah mereka betul-betul memahami perasaan-perasaan tokoh ciptaannya sendiri? Dapatkah kami menuliskan kisah, alur dan konflik kami sendiri tanpa perlu diatur-atur oleh Sang Pengarang?
Jawaban dari pertanyaan tersebutlah yang sebetulnya terangkum dalam alfa, omega, gamma, delta dan epsilon di kitab sastra akhir zaman. Juga berisi informasi penting sebagai kunci menuju kehidupan sastra yang otentik dan terlepas dari sikap otoriter Sang Pengarang.
Sebuah ikhtiar yang bahkan melampaui pemikiran para aktivis FSP tentang pentingnya meruntuhkan institusi negara KOPI di masa itu.
Satu-satunya cara untuk bisa lepas dari kuasa Sang Pengarang, adalah dengan menjemput kematian mereka sendiri dan menjadi salah satu avatar di desa buana -sebuah desa di mana ruang dan waktu meletur ke tahap virtual yang paling subtil.
Di desa ini, semua orang adalah Sang Pengarang. Bahkan mereka berhak menuliskan sejarahnya sendiri, kisahnya sendiri, dan menjadi tokoh apa saja sesuai kehendaknya tanpa ada paksaan. Seorang avatar di sana, bakal terkoneksi dengan ribuan, jutaan, bahkan milyaran tokoh-tokoh lainnya.
Di desa inilah, ST melihat bahwa hakikat sastra sejati menemukan wujudnya. Sepanjang sejarah sastra yang ia pelajari, ini adalah mimpi-mimpi sastra yang terwujudkan. Menjadi sebuah dunia, menjadi dirinya sendiri.
ST kemudian yakin bahwa hal inilah yang sebetulnya dikhawatirkan Presiden KOPI saat menerima kitab hasil pengembaraannya. Bila publik tau tentang kitab ini, akan ada banyak orang yang merasa sakit hati karena kehidupannya selama ini ternyata sekedar tokoh fiksi entah di kisah mana.
Mereka tentu bakal menuntut balas, dan bukan tak mungkin berniat membunuh Sang Pengarang yang asli demi merasakan kebebasan total di depan mata yang terbuka lebar. Yang secara otomatis bakal menghidupkan seluruh tokoh fiksi yang juga ditulis oleh segenap warga KOPI Sastra selama ini.
Tak heran bila kitab tersebut jatuh ke tangan yang salah, perseteruan besar bisa terjadi. Yakni peperangan akhir zaman yang digerakkan ribuan, jutaan, bahkan milyaran tokoh-tokoh fiksi melawan Sang Pengarangnya sendiri dan begitu pula sebaliknya.
Seperti yang telah ia ramalkan sebelumnya dalam kitab panca mayantara, sebuah kutukan akan muncul diiringi saat wabah tanpa nama yang kelak menjangkit ke seluruh penjuru negeri, tatkala itulah kutukan akhir zaman yang merebak menjadi penanda bahwa perang metafiksi pertama di negeri mereka segera dimulai.
Yang membuat ST terkejut adalah, keberadaan Pohon KOPI Putih ini ternyata merupakan lokasi keramat tempat kutukan itu dilepas secara sengaja dan kini tengah menghantu tepat di bawah Pohon KOPI Putih.
Sampai di bagian ini, aku menghentikan bacaanku dan mulai mencermati lagi baik-baik blog Pohon KOPI Putih ini.
Kisah Presiden KOPI Sastra, para menteri dan segenap tokoh fiksi di negeri KOPI Sastra yang kubaca barusan cukup membuatku larut dalam intensitas yang melelahkan.
Kulihat penunjuk waktu yang terus bergerak angka demi angka. Seakan-akan, aku sebagai pembaca juga mau tak mau mesti terlibat dan ikut terus bergerak di dalamnya.
Atau jangan-jangan kehadiranku di halaman logout ini memang sengaja disiapkan oleh Sang Pengarang Pohon KOPI Putih bukan hanya sebagai pembaca pasif, tapi juga sebagai salah satu tokoh utama yang akan melengkapi akhir dari kisah dalam Pohon KOPI Putih ini.
Ini sebabnya aku paham dan pasrah saja saat narasi yang tengah kubaca sekarang malah menuntun mouse di tanganku untuk kembali mengklik halaman login, sengaja mengetikkan username dan password yang salah di sana, klik submit, lalu menemukan diriku terlempar kembali ke halaman luar pinggir danau virtual tempat pohon berwarna putih itu membayang ditempias angin maya entah dari mana asalnya.
Di halaman luar itulah, tepatnya di bawah Pohon KOPI Putih aku seperti melihat sesuatu gaib yang tak kasat oleh mata pembaca biasa, sesuatu gaib yang bisa diketahui bukan dengan melihat apa yang tampil pada monitor, tapi pada apa yang ada di bawah Pohon KOPI Putih itu sendiri dengan cara menekan tombol Ctrl + u pada keyboard secara bersamaan.
Sesuatu gaib itu, tak lain dan tak bukan, adalah sebait hantu berwujud puisi yang disemayamkan di antara ratusan baris kode yang ditulis dalam bahasa yang tak kumengerti.