Jurnalis Belum Mati

Sumber: Istimewa

Di tengah masyarakat yang selalu haus informasi, kehadiran profesi jurnalis sebagai pewarta publik telah semakin kehilangan relevansinya. Kerja jurnalis yang harusnya berpijak pada tatanan moralitas dan nilai-nilai luhur di masyarakat, kian tergantikan dengan intervensi politik dan tekanan modal.

Seiring praktik jurnalisme yang makin pragmatis, media massa pun jadi alat mengumbar berbagai kepentingan praktis untuk menyetir opini publik demi kepentingan sesaat. Pantas bila kiprah pemodal atau pemilik media massa yang terjun ke partai politik, menelikung jurnalis dan membuat model produksi berita menjadi absurd karena berbagai kepentingan turut masuk di dalamnya.

Dus, tak ada lagi sosok jurnalis hari ini yang sadar tengah mengemban tanggung jawab sosial dengan mengabarkan objektifitas, kebenaran dan pencerahan bagi masyarakat. Yang tersisa hanyalah jurnalis-jurnalis gadungan yang tega memutarbalikkan fakta, menjungkirbalikkan objek berita, dan mengubur etika.

Hal di atas adalah beberapa poin saja dari rangkaian kelemahan analisis Edy A. Effendi menyoal fenomena jurnalisme tanah air dalam esainya ‘Idealisme: Kuburan Massal Kaum Jurnalis‘. Lewat opini yang dimuat Kompas Minggu (7/10) kemarin tersebut, Edy juga dengan serampangan menyitir petikan tak lengkap teori simulasi Baudrillard tentang hiperealitas media demi membuktikan kecurigaannya perihal fenomena media mainstream kita hari ini. Wajar bila lantas Edy terjengkang dalam kesimpulan naifnya sendiri: Sang Jurnalis telah mati dalam kuburan massal idealismenya sendiri.

Esai berikut ini tidak ditujukan untuk serta-merta membantah paparan tersebut dan memosisikan Edy di pihak yang salah. Sebab esai ini pun tak akan lepas dari bias backgroundjurnalistik yang saya geluti. Sama seperti Edy yang menulis dengan bias backgroundkepenyairannya. Di kesempatan ini saya akan coba tawarkan argumentasi bandingan yang diharapkan bisa memperkaya wacana diskusi ‘Kematian Sang Jurnalis’ tersebut lebih jernih lagi.

***

Poin penting yang tampaknya diabaikan banyak pemikir jurnalisme awal adalah, kenyataan bahwa sejak kelahirannya, jurnalisme tidak muncul dari ruang hampa. Acta Diurna yang diyakini sebagai koran pertama di dunia, sejatinya adalah perpanjangan tangan dari Imperium Romawi di bawah kuasa Julius Caesar dengan memuat berita-berita seputar kerajaan, catatan rapat senat, peringatan militer, ketentuan pajak –hingga berita-berita ringan seperti kelahiran dan kematian– sebagai ‘agen ideologis negara’ yang mengatur informasi seperti apa yang patut dikonsumsi publik saat itu.

Jika kemudian jurnalisme dilekatkan dengan term independensi, objektivitas, universalitas dan menjadi watchdog, ini tak lain karena pengaruh semangat modernitas ditandai dengan revolusi Gutenberg lewat penemuan mesin cetak yang memungkinkan jurnalisme ditarik ke wilayah komunikasi massa bukan lagi sekedar praktik, tapi juga kajian keilmuan dalam gerakan pencerahan positivistik ala Cartesian, serta menguatnya demokrasi yang dianggap sebagai tatanan paling ideal bagi masyarakat dunia.

Jurnalis sebagai pelaku komunikasi massa, tak hanya dianggap sebagai nabi baru yang menggantikan negara dan gereja dalam menentukan realitas, tapi juga serupa robot yang mampu menghadirkan peristiwa tanpa tendensi apa-apa dari rekaman realitas faktual yang sesungguhnya acak dan tanpa makna ketika ditemui di lapangan.

Penggunaan kata sifat dihindari dan opini jurnalis dianggap barang haram dalam penulisan berita. Independensi dikejar dengan menyajikan narasumber secara berimbang dari kedua belah pihak yang berkepentingan. Institusi media massa lantas diposisikan sekedar mesin sekumpulan jurnalis penjaja cermin yang merefleksikan beragam peristiwa, di mana diharapkan publik sendirilah yang akan memaknai, mengambil kesimpulan dan menyikapi sebuah peristiwa yang dicerminkan mentah-mentah sang Jurnalis.

Tapi seiring waktu, kebutuhan masyarakat untuk lebih dari sekedar memahami kompleksitas zaman macam apa yang tengah terjadi di lingkungannya makin menguat. Media massa sebagai sumber pengetahuan publik dalam konteks kebudayaan populer paling strategis, dituntut untuk berperan menuntun publik lebih dari sekedar menyajikan berita-berita kering nan kaku. Independensi, objektivitas, dan universalitas tadi pun ramai-ramai digugat. Sebab seterang apapun fakta disucikan, bukankah rumus 5W+1H itu adalah buah pikir subjektif sang jurnalis ketika menentukan bagian mana yang harus dijadikan lead dan peristiwa apa yang dipilih untuk jadi headline.

Toh pada akhirnya, mitos-mitos modernitas dalam jurnalisme runtuh seiring bangkrutnya sains dan peradaban Barat yang logosentris. Individu sebagai subjek di era yang makin kompleks, ternyata hanyalah noktah kecil yang tak hanya kehilangan hasrat, tapi juga menyadari kemustahilannya menjadi cermin, melampaui bahkan mengangkangi realitas. Setiap tangkapan, rekaman dan catatan sebuah peristiwa baik oleh seorang jurnalis, ilmuwan sejarah bahkan seorang sufi sekalipun, adalah hasil persepsi subjek yang tak bisa lepas dari kebiasaan, tata cara, ideologi, kuasa hegemoni, serta ruang dan waktu dalam kesementaraannya.

Belum lagi dari sisi finansial setelah media jadi lahan industri, bisnis media adalah bisnis dinosaourus yang hanya bisa dilakukan dengan sokongan dana luar biasa besar. Naiknya harga kertas dunia, terbatasnya infrastruktur, dan lesunya pasar iklan membuktikan bahwa hukum ‘siapa yang kuat dia yang akan bertahan’ juga berlaku di sini. Ekonomi dan politik jadi bagian tak terpisahkan.

Dalam rangka inilah, kita hanya bisa menempatkan relevansi praktik jurnalisme mutakhir lewat kacamata Jurnalisme Baru sebagai gerakan pembaruan yang telah dimulai pertengahan 60-an di AS lalu merebak ke belahan bumi lain dan melahirkan derivasi seperti Jurnalisme Sastrawi (yang memilih mengkisahkan fakta dalam bingkai penulisan cerpen atau novel daripada menyajikan fakta dalam berita kering), Jurnalisme Presisi dan Analisis (yang meninggalkan kebernasan jurnalisme berbahasa dan mulai menyertakan term-term keilmuan dan istilah filsafat sebagai konten utama), dan bahkan Jurnalisme Advokasi yang terang-terangan menjadi partisipan dan menyuntikkan opini tertentu ke ranah publik untuk merebut dukungan. Memberitakan sebuah peristiwa dalam Jurnalisme Baru, adalah cara jurnalis dalam menyikapi peristiwa itu sendiri.

Ini pula sebabnya mengapa satu peristiwa bisa dimaknai berbeda oleh dua media massa, seperti dalam peristiwa 9/11 yang dimaknai terorisme bagi kemanusiaan (oleh media Barat) dan di sisi lain dimaknai sebagai jihad melawan kapitalisme (oleh media Timur Tengah). Alih-alih memandang pertarungan wacana media Barat – Timur tersebut sebagai sentimen agama, kita juga bisa menjumpai motif ekonomi, politik, nasionalisme, dan identitas di dalamnya.

Dan bahwa setiap pelabelan, pembingkaian, bahkan peminggiran (marginalisasi) dalam praktik media tidak muncul secara karikatural hanya karena rengekan childish pemilik modal yang memesan dibuatkan berita bagus-bagus saja tentangnya, tapi jelas melewati proses penandaan ideologis yang kompleks di mana pertarungan wacana itu berlangsung.

Walhasil, tuduhan Edy soal ketidakrelevanan jurnalisme kita hari ini berbalik arah; bahwa satu-satunya hal yang tidak lagi relevan adalah argumen Edy sendiri yang menganggap bahwa jurnalis adalah robot tanpa rasa dan nabi sakti nan arogan yang mengkaim mampu menjangkau ‘kebenaran’.

Kerja jurnalis sebagai profesi hari ini bukan lagi bagaimana memperjuangkan idealisme tunggal dari pribadi yang narsistik dan mungkin juga sedikit nyeni yang menjual mimpi-mimpi palsu akan independensi, objektivitas, dan universalitas, tapi sebagai kerja kreatif tim yang juga mengandung praktik kelas di dalamnya; reporter bergaji murah sebagai buruh middle class yang bekerja mengumpulkan fakta, redaktur sebagai elit kecil yang memegang kemudi dari balik mejanya menjelang deadline hingga tengah malam buta, dan pemimpin redaksi yang merancang strategi dan menyusun bagaimana komposisi idealisme dan komersial di tengah ketidakpastian konteks politik ekonomi yang selalu tarik menarik.

Kalaupun di hari ini kita merindukan sosok jurnalis ideal seperti Muchtar Lubis, Rosihan Anwar atau bahkan tokoh Minke dalam tetralogi Pram (yang kemudian merepresentasikan secuil kiprah Tirto Adhi Soerjo), dengan menyesal saya katakan bahwa masa-masa romantisisme itu sudah usai sejak Majalah Tempo (yang dihuni oleh banyak jurnalis cum seniman) sebagai role model telah memenangkan pertarungan wacana rezim Orba di tahun 98 dan Goenawan Mohamad hengkang dari jabatannya untuk mendirikan komunitas seni.

*) Pernah dimuat di situs Jakartabet.net pada 12 Oktober 2012

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *