Obrolan tentang metaverse dan virtual reality yang ramai belakangan ini mengingatkan memori ke obrolan kantin di masa kuliah era 2000-an.
Saya dan teman-teman, boleh jadi adalah angkatan akademis pertama yang menikmati kebebasan berpikir setelah 30 tahun lebih dikekang dalam perspektif tunggal rezim yang anti dengan segala yang berembel-embel Marxisme.
Peralihan rezim Orba yang baru terjadi dua tahun kala itu, memicu banjirnya buku-buku Marxisme dan filsafat postmodern yg kian mudah ditemui di lapak toko buku indie pinggir rel kereta menuju kampus sebelah.
Karena belum ada wadahnya di kelas-kelas, filsafat pun jadi obrolan sambil ngopi dari Kantin Melati yang legendaris di IISIP Jakarta, sampai kantin sastra (Kansas) UI yang progresif itu.
Kami semua tengah kerajingan mendaras redupnya hasrat filsafat dalam mendefenisikan realita, kian terangnya pemikiran Marx di era globalisasi, dan gelombang linguistic turn yang hadir setelahnya dikomandoi filsuf palu godam Nietzsche lewat ‘Gott ist tot’ (God is dead).
Linguistic Turn dan Kuasa Tanda
Sebelum saya loncatkan pembahasan ke ranah realitas virtual dan argumentasinya secara filsafat, kita perlu lebih dulu meninjau kredo ‘Tuhan telah mati’ ala Nietzsche, atau dalam kata lain kematian realita (karena kebenaran turut dikubur bersamanya) yang menjadi jalur penelusuran metaverse dalam konteks filsafat.
Bagi sang filsuf palu godam itu, realitas duniawi sejatinya hanyalah kumpulan bahasa dimana kebenaran terjerat di dalamnya. Premis yang kemudian muncul dari para pemikir setelah Nietzsche adalah, perbedaan struktur bahasa dalam struktur masyarakat yang berbeda, akan memunculkan kebenaran yang berbeda pula: agama lewat teks-teks di kitab suci, dan sains lewat klaim publikasi tulisan-tulisan ilmiah.

Sejak saat itu, filsafat pun segera beralih dari pencarian akan kebenaran realita menjadi pencarian akan kebenaran dalam bahasa dengan cara membongkar struktur yang melingkupinya. Namun strukturalisme model ini kemudian dikawinkan dengan kritisisme ala Mahzab Frankfurt dan penafsiran Marx pasca runtuhnya Uni Soviet dan kegagalan total komunisme pasca Perang Dunia II.
Nama-nama seperti Marcuse, Faucault, Barthes, Kristeva, dan Derrida didapuk sebagai pewaris tongkat estafet menuju postmodernisme, yang memandang bahwa struktur bahasa tidak hadir dari ruang hampa. Dan karenanya realita yang hadir lewat bahasa tidak sesederhana itu bisa dibongkar dari teks semata tanpa melibatkan siapa yang memproduksi teks dan bagaimana situasi kontekstual politik ekonomi sosial dan budaya yang memayunginya.
Pasalnya, di dalam bahasa ada elemen penting seperti kuasa pengetahuan (yang otoritasnya dipegang para tokoh agama, dokter dan ilmuwan) dan kekuatan tanda (sign) yang digunakan dalam teks dalam memberikan label dan mempengaruhi bentukan realita.
Proses ini bergulir terus menerus, bahwa bahasa sejatinya adalah medan perang abadi yang tarik menarik berbagai pihak yang memproduksi-reproduksi tanda dan menguasai wacana lewat hegemoni dalam menentukan realita mana yang layak kita percayai.
Pintu Masuk Simulacra
Pada kondisi demikian, upaya filsafat dalam membongkar apa itu realita, mana yang benar real, mana yang tidak real, mana yang seakan-akan real tetapi tidak real dan seterusnya, mendapatkan konteksnya.

Dalam rangka inilah, saya mengenai Baudrillard, sosok pemikir, sosiolog sekaligus fotografer asal perancis yang banyak mengkaji penggunaan tanda dalam ekonomi politik yang berkembang di era 80-an. Ia mengklaim bahwa masyarakat saat ini telah menggantikan realita (kenyataan) dan makna (kebenaran) dengan citra dan simbol yang banyak ditampilkan di media massa. Sehingga manusia menjalani dan mengalami hidup tidak lagi di dunia realita, tapi simulasi (tiruan) atas realita yang dicitrakan lewat media.
Bagi kebanyakan orang mungkin hal ini agak sulit diterima. Tapi bagi kami mahasiswa jurnalistik yang sehari-harinya mengkaji perilaku media massa, pemikiran Baudrillard match dengan apa yang kami temui di lapangan tentang bagaimana peran media massa dalam memberitakan sebuah peristiwa, membingkai fakta-fakta yang muncul sambil mengabaikan fakta penting lainnya, bahkan mampu membelokkan realita dan dipercaya sebagai kebenaran bagi pembaca maupun audiensnya.
Yang justru tampak sulit diterima oleh kami saat itu adalah, konsepsi Baudrillard tentang Simulacra sebagai tahapan terakhir dari realita postmodern.

Simulacra disini bisa diartikan sebagai proses realita yang bukan saja terdistorsi dan tidak ada hubungannya dengan dunia nyata, tapi juga membentuk realita baru sehingga dia dianggap sama derajatnya bahkan melampaui kenyataan (hyperreal).
Patut dicatat kala itu internet baru tumbuh. Media massa semakin menggurita dan social media baru saja lahir. Alih-alih mempercayai Baudrillard, konsepnya tentang Simulacra dan hiperrealitas adalah hal yang belum pernah terbayangkan oleh kami.
Dalam pengetahuan kami yang terbatas kala itu, hal yang paling mendekati tentang perbincangan simulacra adalah konsepsi realitas dalam film trilogi The Matrix karya Wachowski bersaudara (1999) dimana Neo sang tokoh utamanya terbangunkan dan mengetahui akan keadaan sebenarnya dari realitas duniawi yang ia tinggali, lalu bergabung dengan sebuah kelompok pemberontak melawan program-program komputer.

Penelusuran saya atas hal ini pun berhenti pada kesimpulan betapa halu-nya Baudrillard dan simulacra tak lebih dari sekedar nomenclature dan gimmick filsafat.
Saya tak pernah menduga bahwa dua puluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 2021 tepat saat merebaknya buzzword metaverse dan virtual reality, simulacra menjadi niscaya ketika konsep ngawang-ngawang ala Baudrillard ini mampu diwujudkan lewat teknik komputasi jaringan dan bahasa pemrograman.
Metaverse dan Keniscayaan Teknologi
Simulacra, atau similar dengan hiperrealitas ala Baudrillard inilah yang agaknya menjadi inspirasi utama Neal Stephenson pada 1992 menerbitkan novel fiksi Snow Crash (Bantam Books). Dalam buku inilah pertama kali disebutkan Metaverse sebagai struktur fiksi yang terbuat dari kode-kode.

Kode tersebut hanya bisa dipahami oleh komputer dan menjadikan internet sebagai realitas virtual dimana seseorang akan diwakili oleh avatar yang mampu berinteraksi dengan pengguna internet lain melalui perangkat lunak.
Snow Crash memiliki latar waktu di awal abad ke-21. Pada saat itu, kondisi ekonomi diceritakan kacau. Pemerintah sudah tidak lagi memiliki kekuatan, sementara itu perusahaan-perusahaan raksasa mengambil alih kekuatan dunia. Sang tokoh utama, Hiro Protagonist, yang berprofesi sebagai pengantar pizza dan peretas (hacker), menjadikan Metaverse sebagai pelarian.

Ia menggunakan avatarnya sendiri untuk menjelajahi dunia virtual dan banyak menghabiskan waktunya di Metaverse.
Tepat 26 tahun kemudian, istilah Metaverse muncul lagi dari seorang venture capitalist bernama Matthew Ball lewat tulisannya pada 2018 berjudul ‘Fortnite Is the Future, but Probably Not for the Reasons You Think.’
Dengan mencontohkan ‘Fortnite’ sebagai salah satu bentuk aplikasi metaverse kala itu, Ball mendefinisikan metaverse adalah jaringan luas dari dunia virtual tiga dimensi yang bekerja secara real-time dan persisten serta mendukung kesinambungan identitas, objek, sejarah, pembayaran, dan hak yang mana dunia itu dialami secara serempak oleh jumlah pengguna yang tidak terbatas.

Hingga di 2021, istilah Metaverse tersebut ‘dipinjam’ oleh Mark Zuckerberg dalam menggambarkan perubahan besar pada perusahaannya yang hendak fokus pada membangun dunia virtual yang baru dan terus menjadikan teknologi sebagai penghubung antarmanusia.
Zuckerberg mengartikan metaverse sebagai seperangkat ruang virtual yang Anda daqat ciptakan dan jelajahi dengan orang lain yang tidak berada di ruang fisik yang sama dengan Anda.
Tak tanggung-tanggung, pada 29 Oktober 2021 lalu, Facebook lewat channel Youtube resminya menerbitkan sebuah video introduksi berjudul ‘The Metaverse and How We’ll Build It Together — Connect 2021’ sambil mengumumkan perubahan nama perusahaannya tersebut dari Facebook menjadi Meta.
— Bersambung —
***
Simak juga penelurusan Martin Suryajaya tentang Dunia sebagai simulasi di video berikut: