Hisap

Garis-garis itu tak bicara banyak. Marut melintang membentuk kurva meski seperti menunjukkan peta -padahal sebetulnya tidak; mereka seperti tersesat di dalamnya. Kadang menjadi tidak lurus di depan, berbalik arah dan bahkan menyempit membentuk lingkaran-lingkaran yang tak terlalu kelihatan juga. Seperti ada tumpahan cat di mana-mana, dan buncah cahaya memberinya satu dua warna saja buat orang-orang kaya yang sanggup membayarnya. Kami justru melihatnya dengan banyak warna yang bisa jadi memang mengganggu itu mirip seperti yang ada di lingkungan rumah kami. Garis-garis itu ada di dandang dapur kami, di dinding rumah ibadah kami, di ranjang reyot berseprai mani kakus dan bekas tapakan kaki.

Tapi entah mungkin karena baru pertama kali ini kami benar-benar serius menatapnya, kami takjub mengapa benda yang biasa-biasa saja ini kok bisa terlihat indah sekarang. Yang lain pun sepakat, garis-garis tapa wicara ini seakan punya nilai estetika yang tinggi tiba-tiba. Ini jelas mahakarya seni, tegas yang satu. Yang satu lagi manggut. Yang satu lainnya lagi ikut saja dan tak bicara banyak. Marut melintang pikiran kami membentuk busur seperti menunjukkan suka padahal sebetulnya tidak; kami masih tersesat di dalam sana.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *