Fragmen Kota, Mimpi, dan Kematian

SATU-SATUNYA CARA untuk mengakhiri hidup adalah dengan kematian. Saat hilangnya akal dari terhentinya kerja otak yang disebabkan gerak jantung tak lagi berdebar.

Ruh pun terpencar. Ruh menjadi serpih-serpih beterbangan dan mengeluarkan beragam cahaya, menggoda-goda atau sekedar menakut-nakuti mata anak kecil yang menangkapnya basah.

Lalu serpihan ruh itupun berkata kepada anak kecil, “kamu lah aku dahulu, aku pernah menjadi sepertimu.”

Tapi tak pernah ada yang benar-benar tahu, bagaimana cara anak kecil itu mengakhiri hidup pada akhirnya nanti.

Saat ini, tepatnya di hari ketigapuluh satu waktu fajar lain telah setengah terbentang, aku merasa kelima indera ini sudah semakin lapuk. Kerut di wajahku semakin padut, sementara uban-uban kecil mulai pekat memenuhi rambut. Masa dan usia berlomba-lomba ke depan mendahului pemahamanku tentang apa hakikat hidup sebenarnya.

Dan fajar ini –sehari sebelum bulan kemenangan muncul memenuhi langit– adalah batas penghabisan. Adalah hari yang telah kuputuskan dalam hati untuk segera mengakhiri hidupku sendiri.

‘Apakah hari ini adalah hari yang baik untuk mati?’

Dan sungguh-sungguh sebuah hari yang sederhana. Semua sama dan masih pada tempatnya. Yang berbeda ialah nyengat kematian dari arah barisan pohon kamboja di sebuah kompleks pekuburan pinggir jalan raya, kini semakin tercium jelas.

Di sebelah kompleks itu, terdapat sebuah telaga kecil dan mengalir seiring hembusan angin fajar. Menyebabkan permukaan danau tampak seperti mangkuk besar yang tengah memasak buih-buih cahaya dari pantulan kuningnya surya dan warna alam sekitar.

Buih-buih seakan saling mengejar dan berlompatan satu sama lain. Buih yang lahir dari bawah air untuk tak lama kemudian mati dalam hening keabadian fajar dan permukaan danau yang putihnya tak terhinggakan.

“Adakah hari selain hari ini sebagai hari yang baik untuk mati?”

Tapi hari sama seperti kemarin, esok, bahkan lusa. Dan bukankah hari ini adalah hari yang indah?

Lalu.. mengapa mengakhiri hidup? Ataukah aku memang sudah tak mau mengakui lagi bahwa hidup itu indah?

“Pahami saja! Hidup itu seperti lagu. Temponya akan melambat saat kita bersedih. Dan akan kembali cepat seiring bahagia datang membebat. Nada-nada. Intonasi. Dan melodi. Buatku, semuanya itu cukup mewakili eksistensi kita hidup di bumi,” gumam anak kecil tadi dengan mata yang seakan bersenandung kecil-kecil.

Ya, betul. Mengapa mengakhiri hidup dengan kematian? Karena mungkin aku hanya sedang bersedih. Mengapa bersedih? Sedih karena aku telah terlalu mencintai kenyataan. Sementara, fakta-fakta yang ada di belakang belumlah habis kupertimbangkan. Padahal kenyataan, bukanlah wujud mutlaknya harapan.

Lalu apa yang harus kini aku lakukan?

Sebab, mengakhiri hidup tidaklah sama seperti mengakhiri sebuah lagu. Seperti selusin nyawa yang masih utuh disini, lapuk jasadku menyisakan pertanyaan sebagai coda penutup yang terakhir:

‘Mimpikah aku bagi semua kalian?’

Pada akhirnya, pertanyaan ini biar saja kutujukan kepada ruh yang terpencar -senandung mata seorang anak kecil- dan pada indahnya kenyataan.

Seperti selusin nyawa yang di awal fragmen ini Dia berikan, satu-satunya cara yang tepat untuk mengakhiri hidupku adalah dengan memulai impian.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *