Empowering Women: Review single ‘Manusia’ – Fransis Karin

Sekali-sekali nulis review musik. Hitung-hitung bantu teman, sesama Anak Bunderan ๐Ÿ˜€

Memperkenalkan kembali ‘Manusia’, single perdana musisi Fransis Karin yang dilepas pertama kali secara independen pada 10 September 2021 lalu. Check it out on your fave streaming platform.

Meski dirilis sebagai nomor solo akustik, nomor bernuansa pop kental ini melibatkan sejumlah nama pendukung antara lain Yehezkiel Fadjar yang menjadi co-composer bersama Karin, serta tangan dingin Sound Engineer Casey Leiwakabessy yang meracik departemen sound sekaligus didapuk menjadi produser.

Melanjutkan Tradisi

Sebagai pendatang baru di skena musik independen, Karin tengah melanjutkan tradisi musisi/ solois seperti yang telah dirintis Leilani Hermiasih a.ka Frau di Yogya, Christabel Annora di Malang, Farhana Azra a.ka PTIG di Batam dan Vira Talisa di Jakarta, meski belum se-advanced Rara Sekar (ex Banda Neira) lewat moniker-nya Hara.

Kesamaan dari berbagai nama penyanyi perempuan tersebut cukup jelas: semuanya berbicara tentang pengalaman keperempuanan mereka yang ditulis dari berbagai sudut pandang. Single karya Karin yang kebetulan berjudul ‘Manusia’ ini, disadari atau tidak, menurut hemat saya tak bisa lepas dari hal tersebut.

Namun alih-alih membongkar ketimpangan seperti yang dilakukan Kartika Jahja lewat Tika and The Dissidents misalnya, Karin memilih jalur lain dengan membangun semesta pengetahuan, pemikiran sekaligus menggelontorkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial akan keberadaannya sebagai manusia sekaligus perempuan yang co-existing bersama laki-laki di dalam sistem sosial yang patriarkis.

Melacak World View

Jalur lain Karin dalam membangun world view dari balik kamar tersebut lengkap dengan ironinya somehow mengingatkan saya pada penulisan lirik yang bisa dilacak asalnya dari nomor pop milik grup musik/ penyanyi perempuan era 90an.

Simak saja petikan lirik berikut yang dinyanyikan Fe dalam lagu Tentang Aku (Jingga, 1995):

Mungkin hanya jiwa yang tak terjaga jua
Dalam doa
Hingga khilaf menyentuh terasa bergetar
Ku berlalu
Saat terasa waktu tlah hilang
Ku terdiam oh
Saat hanya gundah yang bertentangan
Ku bernyanyi

Dalam versi lain, strategi penulisan lirik seperti ini juga muncul di nomor lawas Asa Dimana (Self Titled, 1997) milik pionir grup independen Wondergel berikut:

Meyakinkan diri harus berbuat apa
Memohon pada Nya asa yang jadi beban
Ooh.. Aah..

Termenung sendiri menatap hari-hari

Menanti Empowering di Rilisan Berikutnya

Mungkin masih terlalu dini untuk bicara banyak tentang bagaimana Karin bakal menghadirkan karyanya di rilisan-rilisan berikutnya. Lewat postingan singkat ini, saya hanya ingin mengajukan tawaran bahwa kita butuh lebih banyak lagi musisi perempuan yang bicara tentang dirinya sendiri dan cara pandangnya dalam menghayati dunia, bukan untuk saling menegasikan dua kutub laki-laki dan perempuan, tapi untuk hidup dan saling menghidupi serta empowering satu sama lain.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *